BAB I
Pendahuluan
Manusia yang pada hakikatnya
merupakan mahluk yang tidak dapat hidup sendiri pasti melakukan interaksi antar
satu sama lain. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia saling melengkapi. Hubungan
pemenuhan kebutuhan tersebut mulai berkembang dari jaman ke jaman. Salah satu
hubungan yang dikenal adalah penukaran barang satu dengan sesuatu yang seharga
dengan barang tersebut. Kita mengenalnya dengan jual beli.
Dalam agama islam, aktifitas
jual beli sudah sangat diatur dengan baik oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan
dalam bentuk hadist maupun sunnah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga
sudah semestinya umat islam tidak keluar dari koridor ketentuan akan jual beli.
Sedemikian kompleksnya
kehidupan manusia, barang-barang dan jenis transaksi jual beli pun mulai
beragam jenisnya. Guna mencermati transaksi seperti apa sajakah yang
diperbolehkan dan yang mana sajakah yang terlarang itulah kita harus menambah
wawasan dan kajian dari segala aktifitas jual beli yang dilakukan oleh umat
islam.
Oleh karena itu, kami akan
menjabarkan salah satu bentuk atau cari transaksi dalam islam dalam bentuk
Murabahah atau bisa disebut jual jul beli Iynah atau Jual Beli Murabahah.
BAB II
Pembahasan
A.
Murabahah
a. Pengertian
Murabahah
disebut juga dengan ba’bitsmanil ajil. Murabahah secara etimologis berasal dari
kata ribhu yang berarti keuntungan. Secara sederhana murabahah berarti saling
menguntungkan. Secara terminologis murabahah adalah pembiayaan yang saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan,
melalui transaksi jual beli dengan penjelasam bahwa harga pengadaan barang dan
harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib
al-mal dan pengembaliannya melalui tunai atau angsuran.
Menurut
ulama Malikiyah, adalah jual beli dimana pemilik barang menyebutkan
harga beli barang tersebut, kemudian ia mengambil keuntungan dari pembeli baik
secara sekaligus dengan mengatakan, “contoh : saya membelinya dengan harga
sepuluh ribu dan anda berikan keuntungan kepadaku sebesar seribu atau dua
ribu", atau merincinya dengan mengatakan, anda berikan keuntungan sebesar
satu dirham per satu dinarnya. Atau bisa juga ditentukan dengan ukuran tertentu
maupun dengan menggunakan persentase.
Ulama Hanafiyah
mendefinisikannya dengan mengatakan, pemindahan sesuatu yang dimiliki dengan
akad awal dan harga awal disertai tambahan keuntungan.
Menurut Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah, murabahah
adalah jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah
keuntungan saeribu pada setiap sepuluh ribu atau semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak
yang bertransaksi mengetahui harga pokok.
Disamping jual beli murabahah, dalam fiqh al-muamalah ada
empat jenis jual beli lainnya , yaitu:
1.
Jual beli al-musawamah (ba'iu
al musawamah), yaitu menjual dengan harga berapapun tanpa melihat kepada
harga pokok atau harga perolehan saat pembelian awal. Jual beli ini yang biasa
dilakukan.
2.
Jual beli at-tauliyah (bai'u at tauliyah),
yaitu menjual dengan harga pokok atau harga perolehan tanpa tambahan
keuntungan.
3.
Jual beli isytiraak (bai'u al isytiraak),
sama dengan jual beli at-tauliyah, perbedaannya adalah menjual sebagian
obyek jual beli dengan sebagian harga.
4.
Jual beli al-wadhi'ah (bai'u al wadhi'ah)
yaitu menjual sama dengan harga pokok atau harga perolehan, dengan mengurangi
atau memberikan potongan harga.
b. Dasar Hukum
Murabahah
merupakan suatu akad yang dibolehkan secara syar'i, serta didukung oleh
mayoritas ulama dari kalangan Shahabat, Tabi'in serta Ulama-ulama dari
berbagai mazhab dan aliran. Berikut merupakan dasar hukum akad murabahah:
1. Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara
umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "..dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya
melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan salah satu bentuk
dari jual beli.
Dan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan)
dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan upaya mencari
rezki melalui jual beli.
2. As-sunnah
Hadits dari
riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan
pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk
dijual” (HR. Ibnu Majah).
c.
Syarat dan Rukun
Rukun murabahah adalah:
a) Adanya pihak-pihak yang melakukan
akad, yaitu:
·
Penjual
·
Pembeli
b) Obyek yang diakadkan, yang
mencakup:
·
Barang yang diperjualbelikan
·
Harga
c) Akad/Sighat yang terdiri
dari:
·
Ijab (serah)
·
Qabul (terima)
Syarat murabahah sebagai berikut:
a) Pihak yang berakad, harus:
·
Cakap hukum.
·
Sukarela (ridha), tidak dalam
keadaan terpaksa atau berada dibawah tekanan atau ancaman.
b) Obyek yang diperjualbelikan
harus:
·
Tidak termasuk yang diharamkan
atau dilarang.
·
Memberikan manfaat atau sesuatu yang bermanfaat.
·
Penyerahan obyek murabahah
dari penjual kepada pembeli dapat dilakukan.
·
Merupakan hak milik penuh pihak
yang berakad.
·
Sesuai spesifikasinya antara yang
diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
c) Akad/Sighat
·
Harus jelas dan disebutkan secara
spesifik dengan siapa berakad.
·
Antara ijab dan qabul
(serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang
disepakati.
·
Tidak mengandung klausul yang
bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang.
Selain itu ada beberapa syarat-syarat sahnya jual
beli murabahah adalah sebagai berikut:
a) Mengetahui Harga pokok
Harga beli awal (harga pokok)
harus diketahui oleh pembeli kedua, karena mengetahui harga merupakan salah
satu syarat sahnya jual beli yang menggunakan prinsip murabahah. Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual
beli, dan mayoritas ahli fiqh menekankan pentingnya syarat ini. Bila
harga pokok tidak diketahui oleh pembeli maka akad jual beli menjadi fasid.
Pada praktek perbankan syariah, Bank dapat menunjukkan bukti pembelian obyek
jual beli murabahah kepada nasabah, sehingga dengan bukti pembelian
tersebut nasabah mengetahui harga pokok Bank.
b) Mengetahui Keuntungan
Keuntungan seharusnya juga
diketahui karena ia merupakan bagian dari harga. Keuntungan atau dalam praktek
perbankan syariah sering disebut dengan margin murabahah dapat
dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli,
sehingga kedua belah pihak, terutama nasabah dapat mengetahui keuntungan bank.
c) Harga pokok dapat dihitung dan
diukur
Harga pokok harus dapat diukur,
baik menggunakan takaran, timbangan ataupun hitungan. Ini merupakan syarat murabahah.
Harga bisa menggunakan ukuran awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang
penting bisa diukur dan di ketahui.
d) Jual beli murabahah tidak
bercampur dengan transaksi yang mengandung riba.
e) Akad jual beli pertama harus sah.
Bila akad pertama tidak sah maka
jual beli murabahah tidak boleh dilaksanakan. Karena murabahah
adalah jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan, kalau jual beli
pertama tidak sah maka jual beli murabahah selanjutnya juga tidak sah.
d. PERBEDAAN MURABAHAH,
ISHTISAN DAN SALAM
Murabahah adalah jual beli barang secara cicilan yang harga pokoknya
disebutkan, lalu ditambah margin sesuai kesepakatan. Pembeli mendapatkan barangnya di awal akad,
dan mencicilnya dangan jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan sampai jatuh
tempo.
Salam adalah jual beli barang dimana
barang belum ada dan akan diserahkan di akhir akad (tangguh) dan uang dibayar
di awal (tunai). Uang diserahkan di awal untuk membiayai si supplier dalam
penyediaan barang. Pembeli memodali si penjual. Ciri khas akad salam adalah
spesifikasi brg pesanan harus jelas ditentukan di awal dari segi kualitas,
kuantitas, harga, dan waktu penyerahan. Dengan
penyebutan spesifikasi barang yang jelas, akad bebas dari resiko gharar karna
ketidakjelasan barang seperti dalam sistem ijon.
Istishna' hampir mirip dengan salam, barang diserahkan di akhir. Akan
tetapi bedanya adalah pembayaran barang tidak harus tunai di awal. Pembayaran
barang istishna' bisa dilakukan secara cicilan (bertahap) atau bisa langsung di
akhir saat penyerahan barang.
Jadi pada Murabahah, barang diterima pembeli diawal pembayaran cicilan
barang. Pada Salam, barang diterima saat pembayaran cicilan pertama lunas. Dan
pada Istishna', barang diterima pembeli
saat akhir pembayaran di cicilan
e. Fatwa MUI tentang Murabahah
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
NO: 49/DSN-MUI/II/2005
Tentang Konversi Akad Murabahah
Pertama: Ketentuan Konversi
Akad
LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi
nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai
jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif dengan
ketentuan:
Akad murabahah dihentikan
dengan cara:
obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS
dengan harga pasar;
Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari
hasil penjualan;
Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang
maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian
modal dari mudharabah dan musyarakah;
Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa
hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya
disepakati antara LKS dan nasabah.
LKS dan nasabah eks-murabahah
tersebut dapat membuat akad baru dengan akad:
Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut
diatas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang Al
Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik;
Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN
No.07/DSN- MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau
Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN
no.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
Kedua: Ketentuan Penutup
Jika salah
satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Fatwa ini
berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
B.
Al-‘Inah
a. Pengertian
Bai’
al-inah (بيع
العينة) ialah jual beli yang berlaku antara penjual dan pembeli, di
mana penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi,
kemudian penjual membeli semula aset tersebut daripada pembeli dengan harga
tunai yang lebih rendah. Keadaan sebaliknya boleh berlaku.
Jual beli dengan cara Al-‘Inah adalah seseorang
menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali
membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan.
Hakikatnya ia tidaklah dianggap sebagai
jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba yang disamarkan dalam bentuk
jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya) orang-orang yang senang
melakukan riba. Contoh : Ali menjual barang kepada
Muhammad dengan harga Rp. 1.000.000,- secara kredit selama satu bulan, kemudian
Ali
atau yang mewakilinya kembali datang kepada Muhammad membeli barang tersebut
dengan harga Rp. 800.000,- secara kontan.
Kasus ini banyak terjadi di zaman ini, seperti
seseorang yang hanya memegang uang sebesar 20 juta sedang ia mempunyai
kebutuhan yang sangat mendesak sebesar 200 juta, maka datanglah orang tersebut
ke sebuah perusahan mobil yang mempunyai bagian penjualan dan bagian pembelian
kemudian mengkredit dari bagian penjualan sebuah mobil senilai 220 juta dengan
membayar panjar menggunakan uang yang dia pegang sebanyak 20 juta. Setelah
mengambil mobilnya ia datang kepada bagian pembelian dan menjual mobil tersebut
dengan 200 juta. Inilah yang disebut dengan jual beli dengan cara Al-‘Inah.
Jadi ukurannya, kapan barang tersebut
jatuh kembali kepada pihak penjual maka ia terhitung sebagai jual beli dengan
cara Al-‘Inah. Demikian pula hilah (tipu daya) segitiga yang disebutkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim dengan contoh seorang fakir yang butuh
uang lalu ia pun datang seorang seorang pedagang. Oleh
si pedagang ia diajak ke toko untuk mengambil barang apa saja yang ia inginkan.
Si fakir mengambil sebuah barang dengan harga Rp. 1.000.000,-, yang oleh si
pedagang dinilai 1.200.000,-. Karena si fakir sebenarnya hanya butuh uang maka
barang tersebut kembali dijual kepada pemilik toko dengan harga yang lebih
rendah dari 1.000.000,-.
b. Dasar Hukum
Jual beli secara Al-‘Inah adalah haram dan tidak diperbolehkan menurut Jumhur ulama (kebanyakan ulama). Hal tersebut diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakh’iy dan juga merupakan pendapat Al-Auza’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Ishaq. Disisi lain Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya membolehkan jual beli dengan cara Al-‘Inah.
Tarjih:
Tidak diragukan bahwa yang benar dalam masalah ini adalah haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Adapun Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya, mereka berdalilkan dengan Hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
Tidak diragukan bahwa yang benar dalam masalah ini adalah haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Adapun Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya, mereka berdalilkan dengan Hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيْبٍ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ )) قَالَ : لَا, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخَذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( لَا تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيْبًا )).
“Sesungguhnya
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempekerjakan seorang di
Khaibar. Maka datanglah dia kepada beliau membawa korma Janib (korma dengan
mutu sangat baik) maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bertanya : “Apakah semua korma Khaibar seperti ini ? ia menjawab : “Tidak, demi
Allah wahai Rasulullah, kami mengganti satu sho’ dari (korma Janib) ini dengan
dua sho’ (dari korma jenis lain) dan dua sho’nya dengan tiga sho’. Maka
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jangan kamu
lakukan seperti itu, juallah semua dengan dirham (mata uang perak) lalu dengan
dirham itu belilah korma Janib.”
Sisi pendalilannya : Sabda beliau “juallah semua dengan dirham (mata uang perak) lalu dengan dirham itu belilah korma Janib” berlaku umum sehingga kalau korma jelek itu dibeli oleh pemilik korma Janib lalu dengan uang dari hasil penjualan korma jelek itu oleh pemiliknya kembali dibelikan korma Janib, berarti uangnya kembali kepada pemiliknya.
Sisi pendalilannya : Sabda beliau “juallah semua dengan dirham (mata uang perak) lalu dengan dirham itu belilah korma Janib” berlaku umum sehingga kalau korma jelek itu dibeli oleh pemilik korma Janib lalu dengan uang dari hasil penjualan korma jelek itu oleh pemiliknya kembali dibelikan korma Janib, berarti uangnya kembali kepada pemiliknya.
Dan tentunya pendalilan diatas tidaklah kuat
karena tipu daya riba nampak dengan sangat jelas pada jual beli dengan cara
Al-‘Inah tersebut, apalagi telah datang hadits yang sangat tegas tentang haram
jual beli secara Al-‘Inah sehingga harus dijadikan sebagai dalil khusus
yang membatasi keumuman dalil yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’iy dan
pengikutnya.
Ibnul Qoyyim dalam Tahdzibus Sunan
menerangkan dalil-dalil tentang haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah.
Diantara yang beliau sebutkan adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian telah
berjual beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridho dengan perkebunan dan
kalian telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah
akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan
mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR.
Abu Daud dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam
Ash-Shohihah No. 11).
Hadits diatas adalah ancaman yang sangat keras dan peringatan yang sangat tegas berupa kehinaan bagi orang yang melakukan pelanggaran yang tersebut dalam hadits yang diantaranya adalah jual beli dengan cara Al-‘Inah. Bahkan seakan-akan pelakunya sama kedudukannya dengan orang yang keluar dari agama sehingga diakhir hadits dikatakan, “maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Semua ini menunjukkan haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Demikian keterangan Ash-Shon’any dan Asy-Syaukany.
BAB III
Kesimpulan
Keberagaman dalam jual beli
telah dikaji dalam islam secara lengkap dan cermat. Maka dari itu jual beli
dapat di klasifikasikan kedalam bermacam-macam. Diantaranya adalah Jual beli
dengan cara Murabahah dan al-‘inah. Adapun kesimpulan yang dalam kami ambil
dari sejumlah penjabaran pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut.
Murabahah merupakan jual beli
yang dalam teknisnya penjual memberitahukan atau pembeli mengetahui keuntungan
yang didapat oleh penjual. Transaksi dalam keadaan ini hukumnya dibolehkan
secara syari’ dan oleh banyak kalangan seperti para sahabat dan tabi’in. Dasar
hukumnya juga didukung dengan al-qur’an dan as-sunah. Adapun dalam rukunnya
sama dengan jual beli pada semestinya. Dalam syaratnya, Murabahah tidak boleh
mengandung riba, harga pokok dapat diukur dan diketahui secara pasti. Perbedaan
Murabahah dengan istihsan dan salam adalah terletak pada akad pemberian barang
dalam transaksinya. Hal tersebut telah kami jabarkan pada bab sebelumnya. Cara
jual beli dengan murabahah juga didukung hukum kebolehan dengan fatwa MUI yang semakin menguatkan akan
bolehnya praktik murabahah dalam kehidupan sehari-hari.
Jual
beli dengan cara Al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga
tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang
lebih sedikit secara kontan. Hakikatnya ia tidaklah dianggap sebagai jual beli,
melainkan hanya sekedar pinjaman riba yang disamarkan dalam bentuk jual beli
dan termasuk bentuk hilah (tipu daya) orang-orang yang senang melakukan riba. Dari penjelasan itulah
kita dapat mengetahui bahwa dasar hukum dari praktik al-‘inah adalah haram
untuk dilakukan karena jual beli al-‘inah hanya dimaksudnya menyamarkan praktik
pinjaman dengan bunga (riba) yang sudah jelas haram hukumnya.
Demikianlah hal-hal yang
dapat kami simpulkan. Atas kekurangan dan kesalahan dalam makalah harap
dimaklumkan. Semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan kawan-kawan.
“buku yg digunakan FIQH EKONOMI SYARIAH Fiqh Muamalah Dr.Mardani jakarta< kencana
2012”