Minggu, 29 September 2013

Fiqh Muamalat : Jual Beli Murabahah dan Al-'inah

BAB I
Pendahuluan

Manusia yang pada hakikatnya merupakan mahluk yang tidak dapat hidup sendiri pasti melakukan interaksi antar satu sama lain. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia saling melengkapi. Hubungan pemenuhan kebutuhan tersebut mulai berkembang dari jaman ke jaman. Salah satu hubungan yang dikenal adalah penukaran barang satu dengan sesuatu yang seharga dengan barang tersebut. Kita mengenalnya dengan jual beli.

Dalam agama islam, aktifitas jual beli sudah sangat diatur dengan baik oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan dalam bentuk hadist maupun sunnah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga sudah semestinya umat islam tidak keluar dari koridor ketentuan akan jual beli.

Sedemikian kompleksnya kehidupan manusia, barang-barang dan jenis transaksi jual beli pun mulai beragam jenisnya. Guna mencermati transaksi seperti apa sajakah yang diperbolehkan dan yang mana sajakah yang terlarang itulah kita harus menambah wawasan dan kajian dari segala aktifitas jual beli yang dilakukan oleh umat islam.

Oleh karena itu, kami akan menjabarkan salah satu bentuk atau cari transaksi dalam islam dalam bentuk Murabahah atau bisa disebut jual jul beli Iynah atau Jual Beli Murabahah.
  

BAB II
Pembahasan
A.         Murabahah
a.   Pengertian
Murabahah disebut juga dengan ba’bitsmanil ajil. Murabahah secara etimologis berasal dari kata ribhu yang berarti keuntungan. Secara sederhana murabahah berarti saling menguntungkan. Secara terminologis murabahah adalah pembiayaan yang saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan, melalui transaksi jual beli dengan penjelasam bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya melalui tunai atau angsuran.
Menurut ulama Malikiyah, adalah jual beli dimana pemilik barang menyebutkan harga beli barang tersebut, kemudian ia mengambil keuntungan dari pembeli baik secara sekaligus dengan mengatakan, “contoh : saya membelinya dengan harga sepuluh ribu dan anda berikan keuntungan kepadaku sebesar seribu atau dua ribu", atau merincinya dengan mengatakan, anda berikan keuntungan sebesar satu dirham per satu dinarnya. Atau bisa juga ditentukan dengan ukuran tertentu maupun dengan menggunakan persentase.
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan mengatakan, pemindahan sesuatu yang dimiliki dengan akad awal dan harga awal disertai tambahan keuntungan.
Menurut Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah, murabahah adalah jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah keuntungan saeribu pada setiap sepuluh ribu atau semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui harga pokok.
Disamping jual beli murabahah, dalam fiqh al-muamalah ada empat jenis jual beli lainnya , yaitu:
1.      Jual beli al-musawamah (ba'iu al musawamah), yaitu menjual dengan harga berapapun tanpa melihat kepada harga pokok atau harga perolehan saat pembelian awal. Jual beli ini yang biasa dilakukan.
2.      Jual beli at-tauliyah (bai'u at tauliyah), yaitu menjual dengan harga pokok atau harga perolehan tanpa tambahan keuntungan.
3.      Jual beli isytiraak (bai'u al isytiraak), sama dengan jual beli at-tauliyah, perbedaannya adalah menjual sebagian obyek jual beli dengan sebagian harga.
4.      Jual beli al-wadhi'ah (bai'u al wadhi'ah) yaitu menjual sama dengan harga pokok atau harga perolehan, dengan mengurangi atau memberikan potongan harga.

b.   Dasar Hukum

Murabahah merupakan suatu akad yang dibolehkan secara syar'i, serta didukung oleh mayoritas ulama dari kalangan Shahabat, Tabi'in serta Ulama-ulama dari berbagai mazhab dan aliran. Berikut merupakan dasar hukum akad murabahah:
1.      Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
Dan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan upaya mencari rezki melalui jual beli.
2.       As-sunnah
Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).

c.    Syarat dan Rukun
Rukun murabahah adalah:
a)      Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu:
·         Penjual
·          Pembeli
b)      Obyek yang diakadkan, yang mencakup:
·         Barang yang diperjualbelikan
·         Harga
c)      Akad/Sighat yang terdiri dari:
·         Ijab (serah)
·          Qabul (terima)
Syarat murabahah sebagai berikut:
a)      Pihak yang berakad, harus:
·         Cakap hukum.
·         Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan terpaksa atau berada dibawah tekanan atau ancaman.
b)      Obyek yang diperjualbelikan harus:
·         Tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang.
·          Memberikan manfaat atau sesuatu yang bermanfaat.
·         Penyerahan obyek murabahah dari penjual kepada pembeli dapat dilakukan.
·         Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad.
·         Sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
c)      Akad/Sighat
·         Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad.
·         Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati.
·         Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang.
Selain itu ada beberapa syarat-syarat sahnya jual beli murabahah adalah sebagai berikut:
a)      Mengetahui Harga pokok
Harga beli awal (harga pokok) harus diketahui oleh pembeli kedua, karena mengetahui harga merupakan salah satu syarat sahnya jual beli yang menggunakan prinsip murabahah. Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas ahli fiqh menekankan pentingnya syarat ini. Bila harga pokok tidak diketahui oleh pembeli maka akad jual beli menjadi fasid. Pada praktek perbankan syariah, Bank dapat menunjukkan bukti pembelian obyek jual beli murabahah kepada nasabah, sehingga dengan bukti pembelian tersebut nasabah mengetahui harga pokok Bank.

b)     Mengetahui Keuntungan
Keuntungan seharusnya juga diketahui karena ia merupakan bagian dari harga. Keuntungan atau dalam praktek perbankan syariah sering disebut dengan margin murabahah dapat dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, sehingga kedua belah pihak, terutama nasabah dapat mengetahui keuntungan bank.

c)      Harga pokok dapat dihitung dan diukur
Harga pokok harus dapat diukur, baik menggunakan takaran, timbangan ataupun hitungan. Ini merupakan syarat murabahah. Harga bisa menggunakan ukuran awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang penting bisa diukur dan di ketahui.

d)      Jual beli murabahah tidak bercampur dengan transaksi yang mengandung riba.
e)       Akad jual beli pertama harus sah.
Bila akad pertama tidak sah maka jual beli murabahah tidak boleh dilaksanakan. Karena murabahah adalah jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan, kalau jual beli pertama tidak sah maka jual beli murabahah selanjutnya juga tidak sah.

d.    PERBEDAAN MURABAHAH,  ISHTISAN DAN SALAM

Murabahah adalah jual beli barang secara cicilan yang harga pokoknya disebutkan, lalu ditambah margin sesuai kesepakatan.  Pembeli mendapatkan barangnya di awal akad, dan mencicilnya dangan jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan sampai jatuh tempo.

 Salam adalah jual beli barang dimana barang belum ada dan akan diserahkan di akhir akad (tangguh) dan uang dibayar di awal (tunai). Uang diserahkan di awal untuk membiayai si supplier dalam penyediaan barang. Pembeli memodali si penjual. Ciri khas akad salam adalah spesifikasi brg pesanan harus jelas ditentukan di awal dari segi kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan.  Dengan penyebutan spesifikasi barang yang jelas, akad bebas dari resiko gharar karna ketidakjelasan barang seperti dalam sistem ijon.

Istishna' hampir mirip dengan salam, barang diserahkan di akhir. Akan tetapi bedanya adalah pembayaran barang tidak harus tunai di awal. Pembayaran barang istishna' bisa dilakukan secara cicilan (bertahap) atau bisa langsung di akhir saat penyerahan barang.

Jadi pada Murabahah, barang diterima pembeli diawal pembayaran cicilan barang. Pada Salam, barang diterima saat pembayaran cicilan pertama lunas. Dan pada Istishna',  barang diterima pembeli saat akhir pembayaran di cicilan


e.   Fatwa MUI tentang Murabahah

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
NO: 49/DSN-MUI/II/2005
Tentang Konversi Akad Murabahah
Pertama: Ketentuan Konversi Akad
LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif dengan ketentuan:
Akad murabahah dihentikan dengan cara:
obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;
Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah;
Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah.
LKS dan nasabah eks-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad:
Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut diatas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik;
Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.07/DSN-   MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau
Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN no.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
Kedua: Ketentuan Penutup
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.



B.          Al-‘Inah
a.   Pengertian

Bai’ al-inah (بيع العينة) ialah jual beli yang berlaku antara penjual dan pembeli, di mana penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi, kemudian penjual membeli semula aset tersebut daripada pembeli dengan harga tunai yang lebih rendah. Keadaan sebaliknya boleh berlaku.

Jual beli dengan cara Al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan.

Hakikatnya ia tidaklah dianggap sebagai jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba yang disamarkan dalam bentuk jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya) orang-orang yang senang melakukan riba. Contoh : Ali menjual barang kepada Muhammad dengan harga Rp. 1.000.000,- secara kredit selama satu bulan, kemudian Ali atau yang mewakilinya kembali datang kepada Muhammad membeli barang tersebut dengan harga Rp. 800.000,- secara kontan.

Kasus ini banyak terjadi di zaman ini, seperti seseorang yang hanya memegang uang sebesar 20 juta sedang ia mempunyai kebutuhan yang sangat mendesak sebesar 200 juta, maka datanglah orang tersebut ke sebuah perusahan mobil yang mempunyai bagian penjualan dan bagian pembelian kemudian mengkredit dari bagian penjualan sebuah mobil senilai 220 juta dengan membayar panjar menggunakan uang yang dia pegang sebanyak 20 juta. Setelah mengambil mobilnya ia datang kepada bagian pembelian dan menjual mobil tersebut dengan 200 juta. Inilah yang disebut dengan jual beli dengan cara Al-‘Inah.

Jadi ukurannya, kapan barang tersebut jatuh kembali kepada pihak penjual maka ia terhitung sebagai jual beli dengan cara Al-‘Inah. Demikian pula hilah (tipu daya) segitiga yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim dengan contoh seorang fakir yang butuh uang lalu ia pun datang seorang seorang pedagang. Oleh si pedagang ia diajak ke toko untuk mengambil barang apa saja yang ia inginkan. Si fakir mengambil sebuah barang dengan harga Rp. 1.000.000,-, yang oleh si pedagang dinilai 1.200.000,-. Karena si fakir sebenarnya hanya butuh uang maka barang tersebut kembali dijual kepada pemilik toko dengan harga yang lebih rendah dari 1.000.000,-.

b.   Dasar Hukum

Jual beli secara Al-‘Inah adalah haram dan tidak diperbolehkan menurut Jumhur ulama (kebanyakan ulama). Hal tersebut diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakh’iy dan juga merupakan pendapat Al-Auza’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Ishaq.
Disisi lain Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya membolehkan jual beli dengan cara Al-‘Inah.

Tarjih:
Tidak diragukan bahwa yang benar dalam masalah ini adalah haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Adapun Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya, mereka berdalilkan dengan Hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيْبٍ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ )) قَالَ : لَا, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخَذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( لَا تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيْبًا )).
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempekerjakan seorang di Khaibar. Maka datanglah dia kepada beliau membawa korma Janib (korma dengan mutu sangat baik) maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertanya : “Apakah semua korma Khaibar seperti ini ? ia menjawab : “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, kami mengganti satu sho’ dari (korma Janib) ini dengan dua sho’ (dari korma jenis lain) dan dua sho’nya dengan tiga sho’. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jangan kamu lakukan seperti itu, juallah semua dengan dirham (mata uang perak) lalu dengan dirham itu belilah korma Janib.”
Sisi pendalilannya : Sabda beliau “juallah semua dengan dirham (mata uang perak) lalu dengan dirham itu belilah korma Janib” berlaku umum sehingga kalau korma jelek itu dibeli oleh pemilik korma Janib lalu dengan uang dari hasil penjualan korma jelek itu oleh pemiliknya kembali dibelikan korma Janib, berarti uangnya kembali kepada pemiliknya.

Dan tentunya pendalilan diatas tidaklah kuat karena tipu daya riba nampak dengan sangat jelas pada jual beli dengan cara Al-‘Inah tersebut, apalagi telah datang hadits yang sangat tegas tentang haram jual beli secara Al-‘Inah sehingga harus dijadikan sebagai  dalil khusus yang membatasi keumuman dalil yang disebutkan oleh  Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya.

Ibnul Qoyyim dalam Tahdzibus Sunan menerangkan dalil-dalil tentang haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Diantara yang beliau sebutkan adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam :

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridho dengan perkebunan dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Daud dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah No. 11).

Hadits diatas adalah ancaman yang sangat keras dan peringatan yang sangat tegas berupa kehinaan bagi orang yang melakukan pelanggaran yang tersebut dalam hadits yang diantaranya adalah jual beli dengan cara Al-‘Inah. Bahkan seakan-akan pelakunya sama kedudukannya dengan orang yang keluar dari agama sehingga diakhir hadits dikatakan, “maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Semua ini menunjukkan haramnya jual beli dengan cara Al-‘Inah. Demikian keterangan Ash-Shon’any dan Asy-Syaukany.


BAB III
Kesimpulan

Keberagaman dalam jual beli telah dikaji dalam islam secara lengkap dan cermat. Maka dari itu jual beli dapat di klasifikasikan kedalam bermacam-macam. Diantaranya adalah Jual beli dengan cara Murabahah dan al-‘inah. Adapun kesimpulan yang dalam kami ambil dari sejumlah penjabaran pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut.

Murabahah merupakan jual beli yang dalam teknisnya penjual memberitahukan atau pembeli mengetahui keuntungan yang didapat oleh penjual. Transaksi dalam keadaan ini hukumnya dibolehkan secara syari’ dan oleh banyak kalangan seperti para sahabat dan tabi’in. Dasar hukumnya juga didukung dengan al-qur’an dan as-sunah. Adapun dalam rukunnya sama dengan jual beli pada semestinya. Dalam syaratnya, Murabahah tidak boleh mengandung riba, harga pokok dapat diukur dan diketahui secara pasti. Perbedaan Murabahah dengan istihsan dan salam adalah terletak pada akad pemberian barang dalam transaksinya. Hal tersebut telah kami jabarkan pada bab sebelumnya. Cara jual beli dengan murabahah juga didukung hukum kebolehan  dengan  fatwa MUI yang semakin menguatkan akan bolehnya praktik murabahah dalam kehidupan sehari-hari.

Jual beli dengan cara Al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan. Hakikatnya ia tidaklah dianggap sebagai jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba yang disamarkan dalam bentuk jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya) orang-orang yang senang melakukan riba. Dari penjelasan itulah kita dapat mengetahui bahwa dasar hukum dari praktik al-‘inah adalah haram untuk dilakukan karena jual beli al-‘inah hanya dimaksudnya menyamarkan praktik pinjaman dengan bunga (riba) yang sudah jelas haram hukumnya.

Demikianlah hal-hal yang dapat kami simpulkan. Atas kekurangan dan kesalahan dalam makalah harap dimaklumkan. Semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan kawan-kawan.



“buku yg digunakan FIQH EKONOMI SYARIAH   Fiqh Muamalah Dr.Mardani jakarta< kencana 2012”

1 komentar:

magnumpadmanabhan mengatakan...

Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City - JTM Hub
Borgata Hotel Casino 파주 출장안마 & Spa offers over 2000 slot machines, 100 table games, a live 논산 출장안마 entertainment experience, and 평택 출장마사지 the best 강원도 출장샵 of the best 포항 출장안마 in New Jersey.

Posting Komentar

Blogroll

Blogger news

Blogroll

Blogger templates

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages - Menu

Popular Posts